Pages

Picture

Picture

Freitag, 3. Januar 2014

Mutiara Titipan Tuhan, Diyatimkan (Asri Ismail)


Kemarin, bangga melihat anak-anak itu, senyum mereka menandakan ada kebahagiaan tersirat dalam benaknya.  Raut muka yang berseri-seri seolah masalah baginya adalah peniadaan. Meski, kami semua tahu, ia menyimpan luka pula karena ketiadaan itu sendiri.
Bercerita kepada mereka..(Foto : dok.Pribadi)

Tampaknya kesedihan akan kerinduan menjadi alasan. Kehidupan mereka ternodai secara sosial bagi manusia yang kerap melempar stigma. Mereka menjadi pemain dalam kisah klasik yang sering diurai dan berakhir dengan kejahatan sosial. Nihil, anak Tuhan selalu terzalimi lewat penindasan peniadaan.

Sekira 35 anak manusia berkumpul disana, “Rumah Tuhan” yang diberi nama Mega Muya. Mereka mengumpulkan asa bersama dengan teman-teman seperjuangannya. Lalu, menumpahkan keluh-kesahnya lewat ketulusan dan keikhlasan  seorang pria paruh baya bernama Azis dan istrinya. Kedua orang itulah, bagi para penghuni rumah panti, mereka menyebutnya sebagai orang tua.

Tuhan tepat menempatkan kedua manusia ini, mereka dianugrahi dengan hati dan jiwa yang begitu mulia, lepas akan kesibukan mengurusi dirinya. Hidupnya, semua atas nama kebahagian mereka, anak-anak yang tidak lahir dari rahimnya, tapi melalui sentuhan rasa-nya.

Mungkin saja, kadang-kadang keinginan untuk memeluk dan melihat secara kasat mata orang tua kandungnya kerap menghantui pikirannya, tapi itulah hidup, selalu ada masalah yang menimpali, obatnya tentu kesabaran.

Saya tak mau menyebut mereka anak yatim piatu, meski label itu sering disandingkan. Sebab bagi saya, konotasi itu melukai. Acap kali saya bangga, hidupnya yang mungkin tak seindah apa yang dialami kebanyakan orang, tapi tak mengurungkan niat mereka untuk menggapai apa yang dicita-citakan orang banyak.

Dan bagi saya, anak-anak titipan Tuhan itu adalah mutiara yang sengaja disembunyikan, dan mereka akan dimunculkan sewaktu-waktu, dimana tak ada lagi cemoohan untuknya. Akan selalu ada harapan di tengah himpitan. Kemudian, pada akhirnya, kehebatan kita akan berakhir sesuai lakon yang kita peran-kan. Nilai manusia adalah kesetiaan menjalani.

Sekali lagi, saya katakan mereka hanya diyatimkan. Itu hanya takdir, namun tak ada batasan untuk membatasi mereka. Mereka terspesialkan, Tuhan tak pernah berhenti mengelus dan menina bobo untuk mengantarkannya pada mimpi-mimpinya. (*)

Asri Ismail
Warkop Om Ben, 27 Desember 2013

Keine Kommentare:

Kommentar veröffentlichen