Menaruh Luka di Peraduan Senja (Eksploitasi Rasa)
Sudah beberapa bulan ini, aku masih saja berkutak
pada masalah yang sama. Ada beberapa larik-larik yang belum sempat saya
terjemahkan. Bukan karena tidak ada waktu untuk menuntaskan kegelisahan ini,
tapi rasa-rasanya beban itu melelehkan semangat saya. Ini kali pertama seumur
hidup saya menemukan luka yang obatnya harus menggunakan duri untuk
menyembuhkan. Entah sudah berapa kali otak ini saya peras. Hasilnya nihil, luka
itu malah semakin parah.
Ilustrasi (Foto : Google search) |
Beberapa rentetan kejadian menghempaskan
deretan-deretan kisah pilu berbalut kemelaratan. Saya letih melawan, melawan
keteledoran, melawan ego yang berujung pemaksaan air mata mengalir disebilah
parang yang tajam. Ini bukan curhat, saya hanya mencoba menumpahkan rasa, sebab
kapasitas batin dan hati saya tidak mampu menampung.
Setiap senja perlahan-lahan hilang, lagi-lagi
penyakit itu kambuh. Malam selalu saja menyekap ruang kenyamanan. Ia
menghadirkan sepi di tengah nyanyian kesunyian. Kadangkala, untuk mencicipi ke-muram-an
ini, saya membutuhkan secangkir kopi, sesekali mencampurinya dengan sebatang
rokok yang setia terjepit dibibir.
Ah..malam selalu saja menjadi candu, tak pernah
sekali saja ia melepaskan diri dari lilitan pikiran. Meski saya tahu, dibalik
kesepian yang ditawarkan, ada bulan yang malu-malu memancarkan cahaya, mungkin
disana ada jawaban tentang semuanya. Dan di langit-langit tertutup awan gelap, saya
melihat bintang-bintang menari-nari. Ekspresinya sulit saya maknai, semisal
pesta kelabu yang dituangkan ke bumi untuk mengetahui seberapa hebat makhluk
yang mendiaminya.
Hari ini, saya masih saja berdiri diatas tali yang
bisa saja menjatuhkan ketika gejala alam tiba-tiba tak lagi bersahabat.
Sepertinya menikmati labirin yang menjebak adalah kesesalan. Sedari itu, saya
juga heran dengan tingkah ini bolak-balik melewati beberapa fase, akhirnya
berakhir ke semula. Bagi kebanyakan orang, ia menafsir-nafsirkan saya mencoba
bersembunyi dibalik semua masalah ini, mungkin saja mereka mengira saya lari
dan seolah tak kembali lagi bersama menertibkan kelalaian ini. Terserah,
seperti apa asumsi itu di tempatkan . Saya hanya mencoba menarik beberapa helai
larik dulu, saya akui ini tak mudah, kerikil-kerikil bertaburan di jalan
perjuangan.
Saya memahami bahwa apa yang ada saat ini, ujian
akan kemanusian saya. Endingnya akan
menentukan seperti apa kualitas saya. Walau, diawal semua sudah terbaca, tapi
saya yakini instrument yang kita pakai terbatas dibeberapa arah. Mungkin, ada
banyak yang merasakan imbas dari keguguran daun yang ditiupkan angin
ketidaksetiaan. Maaf untuk itu, sejatinya kesucian itu bukan berarti dia tidak
pernah kotor atau dikotori. Kadangkala, ia menjadi bagian dari etalase
kehidupan.
Kalau ada yang bertanya lantas apa yang saya akan
perbuat untuk menutupi “malu” yang malu-maluin ini, biarkan keindahan alam yang
menampar subjektivitas kemulian batin anda. Hanya bagi mereka yang tak pernah
lelah memegang erat tangan ini tahu bagaimana rasanya dalamnya lubang yang
digali dengan tetesan keringat murni keikhlasan. Mereka pula yang bisa
menggerakan tangan dan kaki-nya untuk menghapus jejak-jejak yang dianggap belum
siap lahir. Bukan pada mereka, yang mulutnya berkoar-koar seolah-olah suci, padahal
kita tahu ada busa yang berbisa melekat dipinggir bibirnya. Terlebih kepada
mereka yang telinga-nya tak mampu memfilter suara-suara sumbang, padahal
seyogyanya telinga tak hanya difungsikan untuk mendengar tetapi tahu membedakan
mana suara bebek dan mana suara manusia.
Akhirnya,
saya menganggap senja adalah kemunafikan
yang bertahta keindahakan, karena disana ada estetika yang tak abadi. Ia
hanya
mampu mengantarkan siang menuju peraduan malam. Jingga warna khas yang
kita
tahu, secara samar-samar saya melihat ada luka yang disembunyikan.
Ibarat bunga mawar dengan kesetiaan duri menjaga.Tapi, tak apalah, aku
mengabdikan diri
padanya, mengikuti siklusnya yang sekejap. Berharap, ceceran-ceceran
pelecehan
ini dengan sekejap pula ditelam zaman. Dan mereka sadar bahwa otaknya
tak lebih
dari kebiadaban yang diperbudak oleh pikirannya. (*)
Warkop Om Ben, 25 Desember 2013
Keine Kommentare:
Kommentar veröffentlichen