Pages

Picture

Picture

Freitag, 3. Januar 2014

Oleh Asri Ismail, di pos ulang.

Menaruh Luka di Peraduan Senja (Eksploitasi Rasa)

Sudah beberapa bulan ini, aku masih saja berkutak pada masalah yang sama. Ada beberapa larik-larik yang belum sempat saya terjemahkan. Bukan karena tidak ada waktu untuk menuntaskan kegelisahan ini, tapi rasa-rasanya beban itu melelehkan semangat saya. Ini kali pertama seumur hidup saya menemukan luka yang obatnya harus menggunakan duri untuk menyembuhkan. Entah sudah berapa kali otak ini saya peras. Hasilnya nihil, luka itu malah semakin parah.
Ilustrasi (Foto : Google search)

Beberapa rentetan kejadian menghempaskan deretan-deretan kisah pilu berbalut kemelaratan. Saya letih melawan, melawan keteledoran, melawan ego yang berujung pemaksaan air mata mengalir disebilah parang yang tajam. Ini bukan curhat, saya hanya mencoba menumpahkan rasa, sebab kapasitas batin dan hati saya tidak mampu menampung.

Setiap senja perlahan-lahan hilang, lagi-lagi penyakit itu kambuh. Malam selalu saja menyekap ruang kenyamanan. Ia menghadirkan sepi di tengah nyanyian kesunyian. Kadangkala, untuk mencicipi ke-muram-an ini, saya membutuhkan secangkir kopi, sesekali mencampurinya dengan sebatang rokok yang setia terjepit dibibir.

Ah..malam selalu saja menjadi candu, tak pernah sekali saja ia melepaskan diri dari lilitan pikiran. Meski saya tahu, dibalik kesepian yang ditawarkan, ada bulan yang malu-malu memancarkan cahaya, mungkin disana ada jawaban tentang semuanya. Dan di langit-langit tertutup awan gelap, saya melihat bintang-bintang menari-nari. Ekspresinya sulit saya maknai, semisal pesta kelabu yang dituangkan ke bumi untuk mengetahui seberapa hebat makhluk yang mendiaminya.

Hari ini, saya masih saja berdiri diatas tali yang bisa saja menjatuhkan ketika gejala alam tiba-tiba tak lagi bersahabat. Sepertinya menikmati labirin yang menjebak adalah kesesalan. Sedari itu, saya juga heran dengan tingkah ini bolak-balik melewati beberapa fase, akhirnya berakhir ke semula. Bagi kebanyakan orang, ia menafsir-nafsirkan saya mencoba bersembunyi dibalik semua masalah ini, mungkin saja mereka mengira saya lari dan seolah tak kembali lagi bersama menertibkan kelalaian ini. Terserah, seperti apa asumsi itu di tempatkan . Saya hanya mencoba menarik beberapa helai larik dulu, saya akui ini tak mudah, kerikil-kerikil bertaburan di jalan perjuangan.

Saya memahami bahwa apa yang ada saat ini, ujian akan kemanusian saya. Endingnya akan menentukan seperti apa kualitas saya. Walau, diawal semua sudah terbaca, tapi saya yakini instrument yang kita pakai terbatas dibeberapa arah. Mungkin, ada banyak yang merasakan imbas dari keguguran daun yang ditiupkan angin ketidaksetiaan. Maaf untuk itu, sejatinya kesucian itu bukan berarti dia tidak pernah kotor atau dikotori. Kadangkala, ia menjadi bagian dari etalase kehidupan.

Kalau ada yang bertanya lantas apa yang saya akan perbuat untuk menutupi “malu” yang malu-maluin ini, biarkan keindahan alam yang menampar subjektivitas kemulian batin anda. Hanya bagi mereka yang tak pernah lelah memegang erat tangan ini tahu bagaimana rasanya dalamnya lubang yang digali dengan tetesan keringat murni keikhlasan. Mereka pula yang bisa menggerakan tangan dan kaki-nya untuk menghapus jejak-jejak yang dianggap belum siap lahir. Bukan pada mereka, yang mulutnya berkoar-koar seolah-olah suci, padahal kita tahu ada busa yang berbisa melekat dipinggir bibirnya. Terlebih kepada mereka yang telinga-nya tak mampu memfilter suara-suara sumbang, padahal seyogyanya telinga tak hanya difungsikan untuk mendengar tetapi tahu membedakan mana suara bebek dan mana suara manusia.

Akhirnya, saya menganggap senja adalah kemunafikan yang bertahta keindahakan, karena disana ada estetika yang tak abadi. Ia hanya mampu mengantarkan siang menuju peraduan malam. Jingga warna khas yang kita tahu, secara samar-samar saya melihat ada luka yang disembunyikan. Ibarat bunga mawar dengan kesetiaan duri menjaga.Tapi, tak apalah, aku mengabdikan diri padanya, mengikuti siklusnya yang sekejap. Berharap, ceceran-ceceran pelecehan ini dengan sekejap pula ditelam zaman. Dan mereka sadar bahwa otaknya tak lebih dari kebiadaban yang diperbudak oleh pikirannya. (*)
Asri Ismail
Warkop Om Ben, 25 Desember 2013

Keine Kommentare:

Kommentar veröffentlichen